PANDUAN PRAKTIK KLINIS REFLUKS GASTROESOFAGEAL



1. Pengertian (Definisi) Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah mekanisme refluks melalui sfingter esofagus. 


2. Anamnesis 1. Pasien biasanya memiliki faktor risiko . Rasa panas dan terbakar di retrosternal atau epigastrik dan dapat menjalar ke leher disertai muntah, atau timbul rasa asam di mulut terutama setelah makan dengan volume besar dan berlemak. Keluhan sering muncul pada malam hari. 

2. Pasien memiliki faktor risiko antara lain : 

a. Usia > 40 tahun, 

b. Obesitas, 

c. Kehamilan, 

d. Merokok, 

e. Konsumsi kopi, alkohol, coklat, makan berlemak, beberapa obat di antaranya nitrat, teofilin dan verapamil, 

f. Pakaian yang ketat,

g. Pekerja yang sering mengangkat beban berat


3. Pemeriksaan Fisik Tidak terdapat tanda spesifik untuk GERD. Bila hasilnya positif, maka dilakukan tes dengan pengobatan PPI (Proton Pump Inhibitor).


4. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat. Kemudian untuk di fasilitas pelayanan tingkat pertama, pasien diterapi dengan PPI test, bila memberikan respon positif terhadap terapi, maka diagnosis definitif GERD dapat disimpulkan. 


5. Diagnosis Kerja GERD


6. Diagnosis Banding Angina pektoris, Akhalasia, Dispepsia, Ulkus peptik, Ulkus duodenum, Pankreatitis



7. Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan penunjang spesifik untuk kasus ini. 



8. Penatalaksanaan 1. Terapi dengan medikamentosa dengan cara memberikan Proton Pump Inhibitor (PPI) dosis tinggi selama 7-14 hari. Bila terdapat perbaikan gejala yang signifikan (50-75%) maka diagnosis dapat ditegakkan sebagai GERD. PPI dosis tinggi berupa omeprazol 2 x 20 mg/hari dan lansoprazol 2 x 30 mg/hari. 

2. Setelah ditegakkan diagnosis GERD, obat dapat diteruskan sampai 4 minggu dan boleh ditambah dengan prokinetik seperti domperidon 3 x 10 mg. 

3. Pada kondisi tidak tersedianya PPI, maka penggunaan H2 Blocker 2 x / hari: simetidin 400-800 mg atau ranitidin 150 mg atau famotidin 20 mg. 


 




9. Edukasi a. Edukasi untuk melakukan modifikasi gaya hidup yaitu dengan mengurangi berat badan, 

b. Berhenti merokok, tidak mengkonsumsi zat yang mengiritasi lambung seperti kafein, aspirin, dan alcohol,

c. Posisi tidur sebaiknya dengan kepala yang lebih tinggi. 

d. Tidur minimal setelah 2 sampai 4 jam setelah makanan, makan dengan porsi kecil dan kurangi makanan yang berlemak


10. Kriteria Rujukan 1. Pengobatan empirik tidak menunjukkan hasil 

2. Pengobatan empirik menunjukkan hasil namun kambuh kembali 

3. Adanya alarm symptom: 

a. Berat badan menurun 

b. Hematemesis melena 

c. Disfagia (sulit menelan) 

d. Odinofagia (sakit menelan) 

e. Anemia 

11. Prognosis Prognosis umumnya bonam tetapi sangat tergantung dari kondisi pasien saat datang dan pengobatannya


12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



PANDUAN PRAKTIK KLINIS FURUNKEL PADA HIDUNG



1. Pengertian (Definisi) Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut hidung  yang  melibatkan  jaringan  subkutan.  Biasanya  disebabkan oleh Staphylococcus aureus.


2. Anamnesis 1. Bisul  di  dalam  hidung,  disertai  rasa  nyeri dan perasaan tidak nyaman.

2. Kadang dapat disertai gejala rhinitis

3. Pemeriksaan Fisik Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling sering terdapat pada lateral vestibulum nasi yang mempunyai vibrissae (rambut hidung).


4. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan


5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (jika diperlukan)


6. Diagnosis Kerja Furunkel pada hidung


7. Diagnosis Banding 1. Impetigo krustosa

2. Imoetigo Bulosa

3. Folikulitis 


8. Penatalaksanaan 1. Non Medikamentosa 

a. Kompres hangat

b. Insisi dilakukan jika telah timbul abses

2. Medikamentosa

a. Antibiotik topikal, seperti salep Bacitrasin dan Polimiksin B

b. Antibiotik oral selama 7-10 hari, yaitu Amoksisilin 3 x 500 mg/hari, atau Eritromisin 4 x 250 – 500 mg/hari.

9. Edukasi 1. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung.

2. Tidak memencet atau melakukan insisi padafurunkel.

3. Selalu menjaga kebersihan diri. 

10. Kriteria Rujukan Tidak ada


11. Prognosis 1. Ad vitam          : Bonam

2. Ad functionam : Bonam

3. Ad sanationam : Bonam

12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



PANDUAN PRAKTIK KLINIS GASTRITIS



1. Pengertian (Definisi) Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung sebagai mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi bakteri atau bahan iritan lain. Proses inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.

2. Anamnesis Keluhan Pasien datang ke dokter karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan, mual, muntah dan kembung. 


Faktor Risiko

1. Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis makanan pedas, porsi makan yang besar

2. Sering minum kopi dan teh 

3. Infeksi bakteri atau parasite

4. Pengunaan obat analgetik dan steroid

5. Usia lanjut

6. Alkoholisme

7. Stress

8. Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks empedu, penyakit autoimun, HIV/AIDS, Chron disease

3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Patognomonis 

1. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat.

2. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat ditemukan pendarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena.

3. Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak anemis.  

4. Pemeriksaan Penunjang Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis dengan melakukan pemeriksaan darah rutin.

5. Kriteria Diagnosis Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang.

6. Diagnosis Kerja Gastritis


7. Diagnosis Banding 1. Kolesistitis 

2. Kolelitiasis

3. Chron disease

4. Kanker lambung

5. Gastroenteritis

6. Limfoma

7. Ulkus peptikum

8. Sarkoidosis

9. GERD 

8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain: H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/kali, Simetidin 400-800 mg/kali), PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, Lansoprazol 30 mg/kali), serta Antasida dosis 3 x 5001000 mg/hari. 

9. Edukasi Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil dan hindari dari makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol. 

10. Kriteria Rujukan 1. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan.

2. Terjadi komplikasi.

3. terdapat alarm symptoms  

11. Prognosis Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi, dan pengobatannya. Umumnya prognosis gastritis adalah bonam, namun dapat terjadi berulang bila pola hidup tidak berubah.

12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



PANDUAN PRAKTIK KLINIS GANGGUAN SOMATOFORM

1. Pengertian (Definisi) Gangguan somatoform merupakan suatu kelompok kelainan psikiatrik yang manifestasinya dapat berupa berbagai gejala fisik yang dirasakan  signifikan  oleh  pasien  namun  tidak  ditemukan penyebabnya secara medis.

2. Anamnesis Pasien biasanya datang dengan keluhan fisik tertentu. Dokter harus mempertimbangkan diagnosis gangguan somatoform bila terdapat beberapa karakteristik berikut ini:

A. Keluhan atau gejala fisik berulang,

B. Dapat disertai dengan permintaan pemeriksaan medis,

C. Hasil  pemeriksaan  medis  tidak  menunjukkan  adanya  kelainan yang dapat menjelaskan keluhan tesebut, 

D. Onset dan kelanjutan dari keluhan berhubungan erat dengan peristiwa kehidupan  yang  tidak  menyenangkan  atau  konflik- konflik,

E. Pasien biasanya menolak upaya untuk membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis,

F. Dapat terlihat perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada  pasien  yang  tidak  puas  karena  tidak berhasil membujuk dokter menerima   persepsinya   bahwa   keluhan   yang   dialami merupakan penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut

3. Pemeriksaan Fisik Tidak  ada  pemeriksaan  fisik  yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis gangguan somatoform

4. Pemeriksaan Penunjang Tidak  ada  pemeriksaan  penunjang  spesifik yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis gangguan somatoform. 


5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (jika diperlukan) terutama berdasarkan hasil anamnesis sebelumnya.

Blok gangguan somatoform terdiri atas:

A. F45.0. Gangguan somatisasi

B. F45.1. Gangguan somatoform tak terinci

C. F45.2. Gangguan hipokondrik

D. F45.3. Disfungsi otonomik somatoform

E. F45.4. Gangguan nyeri somatoform menetap

F. F45.5. Gangguan somatoform lainnya

G. F45.6. Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (YTT)


6. Diagnosis Kerja Gangguan Somatoform


7. Diagnosis Banding Tidak ada



8. Penatalaksanaan Non-medikamentosa

Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan salah satu tatalaksana yang efektif untuk mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT, dokter  memposisikan  diri  sebagai  mitra  yang  membantu  pasien.

Medikamentosa

Penggunaan obat harus berdasarkan indikasi yang jelas. Antidepresan dapat diberikan bila terdapat gejala-gejala depresi atau ansietas yang mengganggu.


9. Edukasi Tidak ada


10. Kriteria Rujukan Tidak ada


11. Prognosis 1. Ad vitam          : Bonam

2. Ad functionam :Dubia

3. Ad sanationam :Dubia

12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



PANDUAN PRAKTIK KLINIS FURUNKEL, KARBUNKEL / WUDUN


1. Pengertian (Definisi) 1. Furunkel adalah peradangan folikel rambut dan jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau pustul perifolikuler dengan eritema di sekitarnya dan disertai rasa nyeri. 

2. Furunkulosis adalah beberapa furunkel yang tersebar. 

3. Karbunkel adalah kumpulan dari beberapa furunkel, ditandai dengan beberapa furunkel yang berkonfluensi membentuk nodus bersupurasi di beberapa puncak.. 


2. Anamnesis 1. Pasien datang mengeluh adanya koreng atau luka di kulit 

a. Awalnya berbentuk seperti bintil kecil yang gatal, dapat berisi cairan atau nanah dengan dasar dan pinggiran sekitarnya kemerahan. Keluhan ini dapat meluas menjadi bengkak disertai dengan rasa nyeri. 

b. Bintil kemudian pecah dan menjadi keropeng/koreng yang mengering, keras dan sangat lengket. 

2. Pasien memiliki faktor risiko antara lain :

a. Higiene yang kurang baik 

b. Defisiensi gizi 

c. Imunodefisiensi (CD4 dan CD8 yang rendah), biasanya pada pasien dengan HIV/AIDS  


3. Pemeriksaan Fisik Terdapat beberapa gejala furunkel dan karbunkel. Pada pemeriksaan fisik kerap ditemukan peradangan folikel rambut dan jaringan sekitarnya berupa papul, vesikel atau pustul perifolikuler dengan eritema di sekitarnya dan disertai rasa nyeri dan jika telah berkonfluensi membentuk nodus bersupurasi di beberapa puncak maka akan menjadi karbunkel. 


4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin kadang-kadang ditemukan leukositosis. 


5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (jika diperlukan)


6. Diagnosis Kerja Furunkel, Karbunkel


7. Diagnosis Banding 1. Impetigo krustosa

2. Imoetigo Bulosa

3. Folikulitis 


8. Penatalaksanaan 1. Antibiotik oral dapat diberikan dari salah satu golongan di bawah ini 

a. Amoksisilin dengan asam klavulanat. 

- Dosis dewasa: 3 x 250-500 mg 

- Dosis anak: 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7 hari. 

b.  Eritromisin: 

- Dosis dewasa: 4 x 250-500 mg/hari, anak: 20- 50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis, selama 5-7 hari. 

c. Sefalosporin, 

- Cefadroksil dengan dosis 2 x 500 mg atau 2 x 1000 mg per hari.


9. Edukasi 1. Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan penyakit dengan menjaga kebersihan diri dan stamina tubuh


10. Kriteria Rujukan 1. Komplikasi mulai dari selulitis. 

2. Tidak sembuh dengan pengobatan selama 5-7 hari. 

3. Terdapat penyakit sistemik (gangguan metabolik endokrin dan imunodefisiensi 


11. Prognosis Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi, prognosis umumnya bonam, bila dengan komplikasi, prognosis umumnya dubia ad bonam


12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



PANDUAN PRAKTIK KLINIS PUSKESMAS FLUOR ALBUS / VAGINAL DISCHARGE NON GONORE



1. Pengertian (Definisi) Vaginal discharge atau keluarnya duh tubuh dari vagina secara fisiologis yang mengalami perubahan sesuai dengan siklus menstruasi berupa cairan kental dan lengket pada seluruh siklus namun lebih cair dan bening ketika terjadi ovulasi. Masih dalam batas normal bila duh tubuh vagina lebih banyak terjadi pada saat stres, kehamilan atau aktivitas seksual. Vaginal discharge bersifat patologis bila terjadi perubahan-perubahan pada warna, konsistensi, volume, dan baunya

2. Anamnesis Biasanya terjadi pada daerah genitalia wanita yang berusia di atas 12 tahun, ditandai dengan adanya perubahan pada duh tubuh disertai salah satu atau lebih gejala rasa gatal, nyeri, disuria, nyeri panggul, perdarahan antar menstruasi atau perdarahan paska-koitus. 


Faktor Risiko

Terdapat riwayat koitus dengan pasangan yang dicurigai menularkan penyakit menular seksual. 

3. Pemeriksaan Fisik Penyebab discharge terbagi menjadi masalah infeksi dan non infeksi. Masalah non infeksi dapat karena benda asing, peradangan akibat alergi atau iritasi, tumor, vaginitis atropik, atau prolaps uteri, sedangkan masalah infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, jamur atau virus seperti berikut ini:

1. Kandidiasis vaginitis, disebabkan oleh Candida albicans, duh tubuh tidak berbau, pH <4,5 , terdapat eritema vagina dan eritema satelit di luar vagina 

2. Vaginosis bakterial (pertumbuhan bakteri anaerob, biasanya Gardnerella vaginalis), memperlihatkan adanya duh putih atau abu-abu yang melekat di sepanjang dinding vagina dan vulva, berbau amis dengan pH >4,5.

3. Servisitis yang disebabkan oleh chlamydia, dengan gejala inflamasi serviks yang mudah berdarah dan disertai duh mukopurulen 

4. Trichomoniasis, seringkali asimtomatik, kalau bergejala, tampak duh kuning kehijauan, duh berbuih, bau amis dan pH >4,5. 

5. Pelvic inflammatory disease (PID) yang disebabkan oleh chlamydia, ditandai dengan nyeri abdomen bawah, dengan atau tanpa demam. Servisitis bisa ditandai dengan kekakuan adneksa dan serviks pada nyeri angkat palpasi bimanual. 

6. Liken planus

7. Gonore 

8. Infeksi menular seksual lainnya 

9. Atau adanya benda asing (misalnya tampon atau kondom yang terlupa diangkat) 

Periksa klinis dengan seksama untuk menyingkirkan adanya kelainan patologis yang lebih serius.

4. Pemeriksaan Penunjang Swab vagina atas (high vaginal swab) tidak terlalu berarti untuk diperiksa dan tidak dapat dilakukan di Puskesmas ..........., kecuali pada keadaan keraguan menegakkan diagnosis, gejala kambuh, pengobatan gagal, atau pada saat kehamilan,  postpartum, postaborsi dan postinstrumentation.

5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan spekulum, palpasi bimanual, uji pH duh vagina dan swab (bila diperlukan).

6. Diagnosis Kerja Fluor Albus / Vaginal Discharge Non Gonore

7. Diagnosis Banding -

8. Penatalaksanaan Pasien dengan riwayat risiko rendah penyakit menular seksual dapat diobati sesuai dengan gejala dan arah diagnosisnya.

Vaginosis bakterial: 

1. Metronidazol atau Klindamisin secara oral atau per vaginam. 

2. Tidak perlu pemeriksaan silang dengan pasangan pria. 

3. Bila sedang hamil atau menyusui gunakan metronidazol 400 mg 2x sehari untuk 5-7 hari atau pervaginam. Tidak direkomendasikan untuk minum 2 gram peroral. 

4. Tidak dibutuhkan peningkatan dosis kontrasepsi hormonal bila menggunakan antibiotik yang tidak menginduksi enzim hati. 

5. Pasien yang menggunakan IUD tembaga dan mengalami vaginosis bakterial dianjurkan untuk mengganti metode kontrasepsinya. 


Vaginitis kandidiosis terbagi atas: 

1. Infeksi tanpa komplikasi  

2. Infeksi parah 

3. Infeksi kambuhan 

4. Dengan kehamilan 

5. Dengan diabetes atau immunocompromise 


Penatalaksanaan vulvovaginal kandidiosis: 

1. Dapat diberikan azol antifungal oral atau pervaginam 

2. Tidak perlu pemeriksaan pasangan 

3. Pasien dengan vulvovaginal kandidiosis yang berulang dianjurkan untuk memperoleh pengobatan paling lama 6 bulan. 

4. Pada saat kehamilan, hindari obat anti-fungi oral, dan gunakan imidazol topikal hingga 7 hari. 

5. Hati-hati pada pasien pengguna kondom atau kontrasepsi lateks lainnya, bahwa penggunaan antifungi lokal dapat merusak lateks 

6. Pasien pengguna kontrasepsi pil kombinasi yang mengalami vulvovaginal kandidiosis berulang, dipertimbangkan untuk menggunakan metoda kontrasepsi lainnya 

 

Chlamydia:  

Dapat diberikan Amoksisilin 500mg 3x sehari untuk 7 hari atau Eritromisin 500 mg 4x sehari untuk 7 hari.


Trikomonas vaginalis:

1. Obat minum nitromidazol (contoh metronidazol) efektif untuk mengobati trikomonas vaginalis

2. Pasangan seksual pasien trikomonas vaginalis harus diperiksa dan diobati bersama dengan pasien 

3. Pasien HIV positif dengan trikomonas vaginalis lebih baik dengan regimen oral penatalaksanaan beberapa hari dibanding dosis tunggal 

4. Kejadian trikomonas vaginalis seringkali berulang, namun perlu dipertimbangkan pula adanya resistensi obat

9. Edukasi 1. Pasien diberikan pemahaman tentang penyakit, penularan serta penatalaksanaan di tingkat rujukan. 

2. Pasien disarankan untuk tidak melakukan hubungan seksual selama penyakit belum tuntas diobati. 

10. Kriteria Rujukan Pasien dirujuk apabila:

1. Tidak terdapat fasilitas pemeriksaan untuk pasangan 

2. Dibutuhkan pemeriksaan kultur kuman gonore 

3. Adanya arah kegagalan pengobatan 

11. Prognosis Prognosis pada umumnya dubia ad bonam. Faktor-faktor yang menentukan prognosis, antara lain:

1. Prognosis lebih buruk apabila adanya gejala radang panggul.

2. Prognosis lebih baik apabila mampu memelihara kebersihan diri (hindari penggunaan antiseptik vagina yang malah membuat iritasi dinding vagina).

12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



PANDUAN PRAKTIK KLINIS GASTROENTERITIS / DIARE / MENCRET



1. Pengertian (Definisi) Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa lambung dan usus halus yang ditandai dengan diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam. Apabila diare > 30 hari disebut kronis. WHO (World Health Organization) mendefinisikan diare akut sebagai diare yang biasanya berlangsung selama 3 – 7 hari tetapi dapat pula berlangsung sampai 14 hari. Diare persisten adalah episode diare yang diperkirakan penyebabnya adalah infeksi dan mulainya sebagai diare akut tetapi berakhir lebih dari 14 hari, serta kondisi ini menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi menyebabkan kematian Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak-anak karena daya tahan tubuh yang belum optimal. 

2. Anamnesis Keluhan

Pasien datang ke dokter karena buang air besar (BAB) lembek atau cair, dapat bercampur darah atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam. Dapat disertai rasa tidak nyaman di perut (nyeri atau kembung), mual dan muntah serta tenesmus.

Setiap kali diare, BAB dapat menghasilkan volume yang besar (asal dari usus kecil) atau volume yang kecil (asal dari usus besar). Bila diare disertai demam maka diduga erat terjadi infeksi.

Bila terjadinya diare didahului oleh makan atau minum dari sumber yang kurang higienenya, GE dapat disebabkan oleh infeksi. Riwayat bepergian ke daerah dengan wabah diare, riwayat intoleransi laktosa (terutama pada bayi), konsumsi makanan iritatif, minum jamu, diet cola, atau makan obat-obatan seperti laksatif, magnesium hidroklorida, magnesium sitrat, obat jantung quinidine, obat gout (kolkisin), diuretika (furosemid, tiazid), toksin (arsenik, organofosfat), insektisida, kafein, metil xantine, agen endokrin (preparat pengantian tiroid), misoprostol, mesalamin, antikolinesterase dan obat-obat diet perlu diketahui.  Selain itu, kondisi imunokompromais (HIV/AIDS) dan demam tifoid perlu diidentifikasi. 

Pada pasien anak ditanyakan secara jelas gejala diare:

1. Perjalanan penyakit diare yaitu lamanya diare berlangsung, kapan diare muncul (saat neonatus, bayi, atau anak-anak) untuk mengetahui, apakah termasuk diare kongenital atau didapat, frekuensi BAB, konsistensi dari feses, ada tidaknya darah dalam tinja

2. Mencari faktor-faktor risiko penyebab diare

3. Gejala penyerta: sakit perut, kembung, banyak gas, gagal tumbuh.

4. Riwayat bepergian, tinggal di tempat penitipan anak merupakan risiko untuk diare infeksi.  

Faktor Risiko

1. Higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang.

2. Riwayat intoleransi laktosa, riwayat alergi obat.

3. Infeksi HIV atau infeksi menular seksual. 

3. Pemeriksaan Fisik 1. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah.

2. Mencari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya: ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata: cekung atau tidak, ada atau tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.

3. Pernapasan yang cepat indikasi adanya asidosis metabolik.

4. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemia.

5. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.

6. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan kriteria. Pada anak menggunakan kriteria WHO 1995




Pemeriksaan derajat dehidrasi


  

Skor penilaian klinis dehidrasi

 



Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995

 

4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah lengkap

5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (BAB cair lebih dari 3 kali sehari) dan pemeriksaan fisik (ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan pemeriksaan konsistensi BAB).

Untuk diagnosis defenitif dilakukan pemeriksaan penunjang. 

6. Diagnosis Kerja Gastroenteritis


7. Diagnosis Banding Demam tifoid, Kriptosporidia (pada penderita HIV), Kolitis pseudomembran

8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada Pasien Dewasa

Pada umumnya diare akut bersifat ringan dan sembuh cepat dengan sendirinya melalui rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang diperlukan evaluasi lebih lanjut.

Terapi dapat diberikan dengan

1. Memberikan cairan dan diet adekuat

a. Pasien tidak dipuasakan dan diberikan cairan yang adekuat untuk rehidrasi.

b. Hindari susu sapi karena terdapat defisiensi laktase transien.

c. Hindari juga minuman yang mengandung alkohol atau kafein, karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus.

d. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya yang tidak mengandung gas, dan mudah dicerna.

2. Pasien diare yang belum dehidrasi dapat diberikan obat antidiare untuk mengurangi gejala dan antimikroba untuk terapi definitif.

Pemberian terapi antimikroba empirik diindikasikan pada pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, traveller’s diarrhea, dan imunosupresi. Antimikroba: pada GE akibat infeksi diberikan antibiotik atau antiparasit, atau antijamur tergantung penyebabnya. 


Obat antidiare, antara lain:

1. Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit 4x2 tablet/ hari atau smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB encer sampai diare stop.


Antimikroba, antara lain:

1. Golongan kuinolon yaitu Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 5-7 hari, atau

2. Trimetroprim/Sulfametoksazol 160/800 2x 1 tablet/hari.

3. Apabila diare diduga disebabkan oleh Giardia, Metronidazol dapat digunakan dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari.

4. Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi disesuaikan dengan etiologi.  


Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan derajat dehidrasinya, pasien ditangani dengan langkah sebagai berikut:

1. Menentukan jenis cairan yang akan digunakan Pada diare akut awal yang ringan, tersedia cairan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 gr Natrium bikarbonat dan 1,5 KCl setiap liter. Cairan ini diberikan secara oral atau lewat selang nasogastrik. Cairan lain adalah cairan ringer laktat dan NaCl 0,9% yang diberikan secara intravena.

2. Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan Prinsip dalam menentukan jumlah cairan inisial yang dibutuhkan adalah: BJ plasma dengan rumus:

 

3. Menentukan jadwal pemberian cairan:

a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan menurut BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.

b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap ke-2) pemberian diberikan berdasarkan kehilangan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral.

c. Jam berikutnya/ pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan insensible water loss.  


Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada diare akut apabila ditemukan:

1. Diare memburuk atau menetap setelah 7 hari, feses harus dianalisa lebih lanjut

2. Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, disentri, demam ≥ 38,5oC, nyeri abdomen yang berat pada pasien usia di atas 50 tahun

3. Pasien usia lanjut

4. Muntah yang persisten

5. Perubahan status mental seperti lethargi, apatis, irritable

6. Terjadinya outbreak pada komunitas 

7. Pada pasien yang immunokompromais.


Penatalaksanaan pada Pasien Anak

Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satusatunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare.  Adapun program LINTAS DIARE yaitu:

1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti larutan air garam. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus.  Pemberian oralit didasarkan pada derajat dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).

A. Diare tanpa dehidrasi

Umur < 1 tahun: ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret (50–100 ml)

Umur 1 – 4 tahun: ½-1 gelas setiap kali anak mencret (100–200 ml)

Umur diatas 5 Tahun: 1–1½ gelas setiap kali anak mencret (200– 300 ml)

B. Diare dengan dehidrasi ringan sedang

Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.

C. Diare dengan dehidrasi berat

Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk diinfus.


Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur

 

Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari gelas. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti.  

2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut. Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya. Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.  

Dosis pemberian Zinc pada balita:

Umur < 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari.

Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari.  Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.  Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare. 

3. Teruskan pemberian ASI dan Makanan

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan 

4. Antibiotik Selektif

Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar karena Shigellosis) dan suspek kolera.

Obat-obatan anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak dianjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia). 

5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh

Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat tentang:

a. Cara memberikan cairan dan obat di rumah

b. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila:

Diare lebih sering

Muntah berulang 

Sangat haus

Makan/minum sedikit

Timbul demam 

Tinja berdarah

Tidak membaik dalam 3 hari.  

9. Edukasi Konseling dan Edukasi Pada Pasien Dewasa

Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi kepada keluarga untuk membantu asupan cairan. Edukasi juga diberikan untuk mencegah terjadinya GE dan mencegah penularannya. 


Konseling dan Edukasi Pada Pasien Anak

Pencegahan diare menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI (2006) adalah sebagai berikut:

1. Pemberian ASI

2. Pemberian makanan pendamping ASI

3. Menggunakan air bersih yang cukup

4. Mencuci tangan

5. Menggunakan jamban

6. Membuang tinja bayi dengan benar

7. Pemberian imunisasi campak 

10. Kriteria Rujukan Kriteria Rujukan Pada Pasien Dewasa

1. Tanda dehidrasi berat

2. Terjadi penurunan kesadaran

3. Nyeri perut yang signifikan

4. Pasien tidak dapat minum oralit

5. Tidak ada infus set serta cairan infus di fasilitas pelayanan 

Kriteria Rujukan Pada Pasien Anak

1. Anak diare dengan dehidrasi berat dan tidak ada fasilitas rawat inap dan pemasangan intravena.

2. Jika rehidrasi tidak dapat dilakukan atau tercapai dalam 3 jam pertama penanganan. diberi ASI

3. Anak dengan diare persisten

4. Anak dengan syok hipovolemik

11. Prognosis Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya, sehingga umumnya prognosis adalah dubia ad bonam. Bila kondisi saat datang dengan dehidrasi berat, prognosis dapat menjadi dubia ad malam. 

12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.


PANDUAN PRAKTIK KLINIS FIMOSIS



1. Pengertian (Definisi) Fimosis adalah kondisi dimana preputium tidak dapat diretraksi melewati glans penis


2. Anamnesis 1. Pasien umumnya mengeluhkan berupa gangguan aliran urin seperti: 

a. Nyeri saat buang air kecil 

b. Mengejan saat buang air kecil 

c. Pancaran urin mengecil 

d. Benjolan lunak di ujung penis akibat penumpukan smegma. 

2. Pasien memiliki faktor risiko . 

a. Hygiene yang buruk 

b. Episode berulang balanitis atau balanoposthitis menyebabkan skar pada preputium yang menyebabkan terjadinya fimosis patalogis 

c. Fimosis dapat terjadi pada 1% pria yang tidak menjalani sirkumsisi 


3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik 

a. Preputium tidak dapat diretraksi keproksimal hingga ke korona glandis 

b. Pancaran urin mengecil 

c. Menggelembungnya ujung preputium saat berkemih 

d. Eritema dan udem pada preputium dan glans penis 

e. Pada fimosis fisiologis, preputium tidak memiliki skar dan tampak sehat 

f. Pada fimosis patalogis pada sekeliling preputium terdapat lingkaran fibrotik 

g. Timbunan smegma pada sakus preputium 

4. Kriteria Diagnosis Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik


5. Diagnosis Kerja Fimosis 


6. Diagnosis Banding Parafimosis, Balanitis, Angioedema


7. Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk kasus ini. 


8. Penatalaksanaan a. Pemberian salep kortikosteroid (0,05% betametason) 2 kali perhari selama 2-8 minggu pada daerah preputium. 

b. Sirkumsisi 

9. Edukasi Pemberian penjelasan terhadap orang tua atau pasien agar tidak melakukan penarikan preputium secara berlebihan ketika membersihkan penis karena dapat menimbulkan parut.


10. Kriteria Rujukan Bila terdapat komplikasi dan penyulit untuk tindakan sirkumsisi maka dirujuk ke layanan sekunder


11. Prognosis Prognosis bonam bila penanganan sesuai


12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



PANDUAN PRAKTIK KLINIS PUSKESMAS FOLIKULITIS


1. Pengertian (Definisi) Folikulitis  adalah infeksi kulit (epidermis, dermis dan subkutis) yang disebabkan oleh bakteri gram positif dari golongan Stafilokokus dan Streptokokus yang berlokasi pada folikel rambut. 


2. Anamnesis 1. Pasien datang mengeluh adanya koreng atau luka di kulit 

a. Awalnya berbentuk seperti bintil kecil yang gatal, dapat berisi cairan atau nanah dengan dasar dan pinggiran sekitarnya kemerahan. Keluhan ini dapat meluas menjadi bengkak disertai dengan rasa nyeri. 

b. Bintil kemudian pecah dan menjadi keropeng/koreng yang mengering, keras dan sangat lengket. 

2. Pasien memiliki faktor risiko antara lain :

a. Higiene yang kurang baik 

b. Defisiensi gizi 

c. Imunodefisiensi (CD4 dan CD8 yang rendah), biasanya pada pasien dengan HIV/AIDS  


3. Pemeriksaan Fisik Terdapat beberapa gejala impetigo tergantung pada grade penyakit tersebut. Pemeriksaan yang dapat ditemukan antara lain : peradangan folikel rambut yang ditandai dengan papul eritema perifolikuler dan rasa gatal atau perih. 


4. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (jika diperlukan)


5. Diagnosis Kerja Folikulitis


6. Diagnosis Banding 1. Impetigo krustosa

2. Imoetigo Bulosa

3. Furunkel

4. Karbunkel 


7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin kadang-kadang ditemukan leukositosis. 


8. Penatalaksanaan 1. Antibiotik oral dapat diberikan dari salah satu golongan di bawah ini 

a. Amoksisilin dengan asam klavulanat. 

- Dosis dewasa: 3 x 250-500 mg 

- Dosis anak: 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7 hari. 

b.  Eritromisin: 

- Dosis dewasa: 4 x 250-500 mg/hari, anak: 20- 50 mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis, selama 5-7 hari. 

c. Sefalosporin, 

- Cefadroksil dengan dosis 2 x 500 mg atau 2 x 1000 mg per hari.


9. Edukasi Edukasi pasien dan keluarga untuk pencegahan penyakit dengan menjaga kebersihan diri dan stamina tubuh


10. Kriteria Rujukan 1. Komplikasi mulai dari selulitis. 

2. Tidak sembuh dengan pengobatan selama 5-7 hari. 

3. Terdapat penyakit sistemik (gangguan metabolik endokrin dan imunodefisiensi 


11. Prognosis Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi, prognosis umumnya bonam, bila dengan komplikasi, prognosis umumnya dubia ad bonam


12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



PANDUAN PRAKTIK KLINIS EPISTAKSIS



1. Pengertian (Definisi) Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung yang berasal dari rongga hidung atau nasofaring. 

2. Anamnesis Keluhan 

1. Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung. 

2. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai : 

a. Lokasi keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke tenggorok) 

b. Banyaknya perdarahan 

c. Frekuensi 

d. Lamanya perdarahan 


Faktor Risiko 

1. Trauma 

2. Adanya penyakit di hidung yang mendasari, misalnya: rinosinusitis, rinitis alergi. 

3. Penyakit sistemik, seperti kelainan pembuluh darah, nefritis kronik, demam berdarah dengue.

4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti NSAID, aspirin, warfarin, heparin, tiklodipin, semprot hidung kortikosteroid. 

5. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal, atau nasofaring. 

6. Kelainan kongenital, misalnya: hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease.

7. Adanya deviasi septum.  

8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah, atau lingkungan dengan udara yang sangat kering.

9. Kebiasaan 

3. Pemeriksaan Fisik 1. Rinoskopi anterior 

Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior harus diperiksa dengan cermat untuk mengetahui sumber perdarahan. 

2. Rinoskopi posterior 

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang untuk menyingkirkan neoplasma. 

3. Pengukuran tekanan darah 

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis posterior yang hebat dan sering berulang.


4. Pemeriksaan Penunjang Bila diperlukan: 

1. Darah perifer lengkap 

2. Skrining terhadap koagulopati (bleeding time, clotting time) 


5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan.


6. Diagnosis Kerja Epistaksis


7. Diagnosis Banding Hemoptisis, Varises oesofagus yang berdarah, Perdarahan di basis cranii, Karsinoma nasofaring, Angiofibroma hidung.


8. Penatalaksanaan 1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok, pasien bisa berbaring dengan kepala dimiringkan. 

2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode Trotter). 

3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku. 

4. Bila perdarahan tidak berhenti, masukkan kapas yang dibasahi ke dalam hidung dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan Lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan Adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. 

5. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi Vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik dan analgetik. 

6. Untuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior). Teknik pemasangan tampon posterior, yaitu: 

a. Masukkan kateter karet melalui nares anterior dari hidung yang berdarah sampai tampak di orofaring, lalu tarik keluar melalui mulut. 

b. Ikatkan ujung kateter pada 2 buah benang tampon Bellocq, kemudian tarik kembali kateter itu melalui hidung. 

c. Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior dengan bantuan jari telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. 

d. Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. 

e. Lekatkan benang yang terdapat di rongga mulut dan terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2- 3 hari.

f. Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan penghentian perdarahan itu. 

9. Edukasi Memberitahu pasien dan keluarga untuk: 

1. Mengidentifikasi penyebab epistaksis, karena hal ini merupakan gejala suatu penyakit, sehingga dapat mencegah timbulnya kembali epistaksis. 

2. Mengontrol tekanan darah pada penderita dengan hipertensi. 

3. Menghindari membuang lendir melalui hidung terlalu keras. 

4. Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat pada pasien anak. 

5. Membatasi penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen. 


10. Kriteria Rujukan 1. Bila perlu mencari sumber perdarahan dengan modalitas yang tidak tersedia di layanan Tingkat Pertama, misalnya naso-endoskopi. 

2. Pasien dengan epistaksis yang curiga akibat tumor di rongga hidung atau nasofaring. 

3. Epistaksis yang terus berulang atau masif. 

11. Prognosis 1. Ad vitam : Bonam 

2. Ad functionam : Bonam 

3. Ad sanationam : Bonam 

12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



PANDUAN PRAKTIK KLINIS FILARIASIS


1. Pengertian (Definisi) Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa

pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. 

Penyakit kaki gajah disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu: Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.


2. Anamnesis 1. Pasien mengeluh demam berulang ulang selama 3-5 hari. demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat.

2. Selain itu, pasien juga mengeluh pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadentitis) yang tampak kemerahan, panas, dan sakit.


3. Pemeriksaan Fisik Gejala kronis filariasis berupa: 

1. Pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti) yang disebabkan oleh adanya cacing dewasa pada sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis.

2. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (retrograde lymphangitis).

3. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.

4. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (Early Imphodema).


1. Masa prepaten, yaitu masa antara masuknya larva infektif hingga terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik ini pun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimptomatik amikrofilaremik dan asimptomatik mikrofilaremik.

2. Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 8 – 16 bulan.

3. Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat amikrofilaremik maupun mikrofilaremik.

4. Gejala menahun, terjadi 10 – 15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan adenolimfangitis masih dapat terjadi. Gejala menahun ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya.


4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah tepi terdapat leukositosis dengan eosinophilia sampai 10-30% dengan pemeriksaan sediaan darah jari yang diambil mulai pukul 20.00 waktu setempat.


5. Kriteria Diagnosis 1. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang identifikasi mikrofilaria. 

2. Didaerah endemis, bila ditemukan adanya limfedema di daerah ekstremitas disertai dengan kelainan genital laki-laki pada penderita dengan usia lebih dari 15 tahun, bila tidak ada sebab lain seperti trauma atau gagal jantung kongestif kemungkinan filariasis sangat tinggi.


6. Diagnosis Kerja Filariasis 


7. Diagnosis Banding 1. Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma dapat mengacaukan adenolimfadenitis filariasis akut

2. Tuberkulosis, lepra, sarkoidosis dan penyakit sistemik granulomatous lainnya.


8. Penatalaksanaan 1. Obat anti filaria adalah Diethyl carbamazine citrate (DEC) (obat ini bermanfaat apabila diberikan pada fase akut yaitu ketika pasien mengalami limfangitis).

2. DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa. Ivermektin merupakan antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak memiliki efek makrofilarisida.

3. Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari setelah makan, selama 12 hari, pada Tropical Pulmonary Eosinophylia (TPE) pengobatan diberikan selama tiga minggu.

4. Pemberian antibiotik dan/atau antijamur akan mengurangi serangan berulang, sehingga mencegah terjadinya limfedema kronis.

9. Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek samping pengobatan. Analgetik dapat diberikan bila diperlukan.

10. Pengobatan operatif, kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif, demikian pula pada chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif.


9. Edukasi Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit filariasis terutama dampak akibat penyakit dan cara penularannya. Pasien dan keluarga juga harus memahami pencegahan dan pengendalian penyakit menular ini melalui:

a. Pemberantasan nyamuk dewasa

b. Pemberantasan jentik nyamuk

c. Mencegah gigitan nyamuk

10. Kriteria Rujukan Pasien dirujuk bila dibutuhkan pengobatan operatif atau bila gejala tidak membaik dengan pengobatan konservatif.


11. Prognosis Prognosis pada umumnya tidak mengancam jiwa. Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam, sedangkan quo ad sanationam adalah malam


12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.



PANDUAN PRAKTIK KLINIS ERITRASMA (L08)


1. Pengertian (Definisi) Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneumyang disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum


2. Anamnesis 1. Pada beberapa pasien biasanya jarang ada keluhan. Jika ada keluhan, pasien biasanya mengeluh gatal dengan durasi dari bulan sampai tahun

2. Pasien biasanya memiliki faktor risiko berupa Penderita Diabetes Mellitus, iklim sedang dan panas, maserasi pada kulit, banyak berkeringat, kegemukan, higiene buruk, peminum alkoho


3. Pemeriksaan Fisik 1. Lokasi : lipat paha bagian dalam, sampai skrotum, aksilla, dan intergluteal 

2. Efloresensi : eritema luas berbatas tegas, dengan skuama halus dan kadang erosif. Kadang juga didapatkan likenifikasi dan hiperpigmentasi


4. Pemeriksaan Penunjang Sediaan langsung kerokan kulit dengan pewarnaan gram. 

Tidak dapat dilakukan di Puskesmas ............

5. Kriteria Diagnosis Jika pada pemeriksaan fisik dan dengan lampu wood didapatkan fluoresensi merah bata (coral pink)


6. Diagnosis Kerja Penegakan diagnosis melalui hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood didapatkan fluoresensi merah bata (coral pink


7. Diagnosis Banding Pitiriasis versikolor, Tinea kruris, Dermatitis seboroik, Kandidiasis


8. Penatalaksanaan 1. Pengobatan topikal: salep Tetrasiklin 3% 

2. Pengobatan sistemik: Eritromisin 1 g sehari (4 x 250mg) untuk 2-3 minggu. 


9. Edukasi 1. Bagi penderita diabetes, tetap mengontrol gula darah 

2. Menjaga kebersihan badan 

3. Menjaga agar kulit tetap kering 

4. Menggunakan pakaian yang bersih dengan bahan yang menyerap keringat. 

5. Menghindari panas atau kelembaban yang berlebih 


10. Kriteria Rujukan -


11. Prognosis Bonam


12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.


PANDUAN PRAKTIK KLINIS FARINGITIS AKUT



1. Pengertian (Definisi) Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (4060%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya

2. Anamnesis Keluhan 

1. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan

2. Demam

3. Sekret dari hidung

4. Dapat disertai atau tanpa batuk

5. Nyeri kepala

6. Mual Muntah

7. Rasa lemah pada seluruh tubuh

8. Nafsu makan berkurang


Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:

1. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan mual.

2. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk, dan seringkali terdapat pembesaran KGB leher.

3. Faringitis fungal:terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.

4. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk yang berdahak.

5. Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.

6. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan bakterial non spesifik.

7. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan seksual, terutama seks oral. 



Faktor Risiko

1. Usia 3 – 14 tahun.

2. Menurunnya daya tahan tubuh.

3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring

4. Gizi kurang

5. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam lambung, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring.

6. Paparan udara yang dingin. 

3. Pemeriksaan Fisik 1. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat timbul lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.

2. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

3. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.

4. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan hiperplasia lateral band. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone).

5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.

6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan pada mukosa faring dan laring

7. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:

a. Stadium primer Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula

b. Stadium sekunder Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang menjalar ke arah laring.

c. Stadium tersier Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum. 

4. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah lengkap.


5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan.

Klasifikasi faringitis

1. Faringitis Akut

a. Faringitis Viral

Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak.

b. Faringitis Bakterial

Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Faringitis akibat infeksi bakteri streptokokkus group A dapat diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria, yaitu :

Demam

Anterior Cervical lymphadenopathy

Eksudat tonsil

Tidak ada batuk

Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi streptokokkus group A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki kemungkian 40% terinfeksi streptokokkus group A dan bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi streptokokkus group A.

c. Faringitis Fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.

d. Faringitis Gonorea

Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital

2. Faringitis Kronik

a. Faringitis Kronik Hiperplastik

Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.

b. Faringitis Kronik Atrofi

Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring.

3. Faringitis Spesifik

a. Faringitis Tuberkulosis

Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. 

b. Faringitis Luetika

Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring, seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung stadium penyakitnya. 

6. Diagnosis Kerja Faringitis

7. Diagnosis Banding

8. Penatalaksanaan 1. Istirahat cukup

2. Minum air putih yang cukup

3. Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur antiseptik untuk menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal diberikan Nistatin 100.000-400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan Nitras Argentin 25%

4. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus Isoprinosine dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari (Tidak ada di Puskesmas ...........)

5. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya Streptococcus group A, diberikan antibiotik Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6-10 hari atau Eritromisin 4x500 mg/hari.

6. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan Sefalosporin generasi ke-3, seperti Seftriakson 2 gr IV/IM single dose. (Tidak ada di Puskesmas ...........)

7. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi. Sedangkan, pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik 1 x/hari selama 3-5 hari.

8. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. analgetik-antipiretik

9. Selain antibiotik, Kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi inflamasi sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang diberikan dapat berupa Deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari selama 3 hari. 

9. Edukasi Memberitahu pasien dan keluarga untuk:

1. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.

2. Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.

3. Menghindari makan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.

4. Selalu menjaga higiene mulut dan tangan

10. Kriteria Rujukan 1. Faringitis luetika

2. Bila terjadi komplikasi

11. Prognosis 1. Ad vitam  : Bonam 

2. Ad functionam : Bonam 

3. Ad sanationam : Bonam

12. Referensi Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.