C.Paket Pelayanan Usia Dewasa dan Lanjut Usia

 C.Paket Pelayanan Usia Dewasa dan Lanjut Usia

Pelayanan kesehatan pada usia dewasa dan lanjut usia yang diberikan di Puskesmas, Pustu, dan Posyandu meliputi: paket pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk seluruh sasaran usia dewasa dan lanjut usia; paket pelayanan khusus untuk usia dewasa; dan paket pelayanan khusus untuk lanjut usia.

1.Pelayanan Kesehatan Usia Dewasa dan Lanjut Usia

Pelayanan kesehatan untuk seluruh sasaran usia dewasa dan lanjut usia meliputi skrining penyakit, pelayanan pengobatan umum/tata laksana masalah kesehatan, pelayanan kesehatan gigi dan mulut serta penyakit akibat kerja.

a.Skrining Obesitas

1)Sasaran: penduduk usia ≥ 15 tahun

2)Frekuensi: 1 tahun sekali,

3)Tempat pelaksanaan: Posyandu, Pustu dan Puskesmas.

4)Metode : melalui pengukuran berat badan, tinggi badan dan lingkar perut.

5)Interpretasi :

a)Obesitas umum diukur berdasarkan pengkategorian IMT yaitu melihat perbandingan antara Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB).

IMT = Berat Badan (kg)                                 

          Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Klasifikasi

IMT

Berat Badan Kurang (Underweight)

< 18,5

Berat Badan Normal

18,5 22, 9

Kelebihan Berat Badan (overweight) dengan risiko

23 24,9

Obesitas I

23 29,9

Obesitas II

30


b)Obesitas sentral dilihat dari ukuran lingkar perut 

No

Lingkar Perut

Jenis Kelamin

Klasifikasi

1

90 cm

Laki-laki

Normal

2

> 90 cm

Laki-laki

Berisiko/ Obesitas Sentral

3

80 cm

Perempuan

Normal

4

> 80 cm

Perempuan

Berisiko/ Obesitas Sentral



6) Tindak lanjut :

a) Petugas di Pustu dan Posyandu (termasuk Pos Upaya Kesehatan Kerja/Pos UKK bagi pekerja informal) melakukan:

(1) Edukasi dan pemantauan gaya hidup sehat bagi pasien obesitas. Evaluasi dilakukan setelah 3 bulan untuk melihat keberhasilan.

(2) Kader dapat melakukan kunjungan rumah untuk memberikan edukasi.

(3) Jika tidak terdapat perubahan maka dilakukan tindak lanjut dini ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

b) Petugas di Puskesmas melakukan tata laksana sebagai berikut.

(1) Normal: pertahankan gaya hidup sehat

(2) Overweight: edukasi perubahan gaya hidup sehat

(3) Obesitas: pengaturan pola makan, aktivitas dan latihan fisik, pengaturan waktu tidur, pengaturan perilaku mengelola stress; edukasi dan konseling; serta rujukan bila ada penyakit penyerta dan atau sindroma metabolik.




b. Skrining Hipertensi

1) Sasaran: penduduk usia ≥ 15 tahun

2) Frekuensi: secara rutin dan berkala, minimal 1 tahun sekali.

3) Tempat pelaksanaan: Posyandu (termasuk Pos Upaya Kesehatan Kerja (Pos UKK)), Pustu, dan Puskesmas.

4) Metode: pemeriksaan tekanan darah menggunakan tensimeter digital dan tensimeter anaeroid.

5) Interpretasi hasil skrining 

Klasifikasi

TD sistolik (mmHg)

 

TD diastolic (mmHg)

Optimal

< 120

dan

< 80

Normal

120-129

dan/atau

80-84

Normal tinggi

130-139

dan/atau

85-89

Hipertensi derajat 1

140-159

dan/atau

90-99

Hipertensi derajat 2

160-179

dan/atau

100-109

Hipertensi derajat 3

180

dan/atau

110

Hipertensi sistolik terisolasi

140

dan

< 90


6) Tindak lanjut hasil skrining Hipertensi :

a) Petugas di Posyandu atau Pustu melakukan:

a) Edukasi gaya hidup sehat pada hasil skrining normal

b) Edukasi gaya hidup sehat dan pemantauan setiap bulan bagi pasien dengan hasil skrining normal tinggi dan pasien hipertensi.

c) Edukasi dan merujuk ke Puskesmas bagi pasien dengan hasil skrining menunjukkan tanda hipertensi, pasien hipertensi yang sudah waktunya kontrol ke Puskesmas atau pasien dengan tekanan darah yang tidak terkontrol.

d) Monitoring tekanan darah dan melanjutkan pemberian obat sesuai dengan terapi dokter oleh petugas Kesehatan di Pustu selama kurun waktu 3 Bulan dengan syarat:


a) Penyandang hipertensi minimal sebulan sekali menerima pelayanan Kesehatan sesuai standard

b) Penyandang hipertensi tekanan darahnya terkendali

c) Tidak ada gejala dan keluhan pada penyandang hipertensi (lemas, sakit kepala, detak jantung cepat/ lambat, hipotensi ortostatik dan lain-lain)

d) Bila tekanan darah tidak terkendali dan atau ditemukan gejala dan tanda perburukan segera rujuk ke Puskesmas

e) Bila penyandang hipertensi tidak datang untuk melakukan monitoring tekanan darah maka petugas Kesehatan di Pustu harus melakukan kunjungan rumah

b) Petugas di Puskesmas melakukan:


a) Penegakan diagnosis hipertensi oleh dokter

b) Tata laksana sesuai PPK dan standar lain yang berlaku bagi pasien Hipertensi, termasuk edukasi dan konseling gaya hidup sehat.

c) Konseling perubahan perilaku untuk lebih sehat, seperti gizi seimbang, aktivitas fisik, layanan Upaya Berhenti Merokok (UBM).

d) Skrining komplikasi penyakit jantung, stroke dan kelainan ginjal dilakukan pada pasien hipertensi usia ≥ 40 tahun meliputi pemeriksaan mata dengan funduskopi, pemeriksaan fungsi jantung dengan EKG dan pemeriksaan profil lipid, pemeriksaan fungsi ginjal dengan urinalisa (albumin, ureum dan kreatinin) minimal 1 tahun sekali.


7) Kader pada saat kunjungan rumah melakukan sweeping sasaran yang belum dilakukan skrining hipertensi, menemukan pasien hipertensi yang tidak berobat teratur dan memberikan edukasi terkait pencegahan dan kepatuhan dalam pengobatan hipertensi.


c. Skrining Diabetes Melitus (DM)

a) Sasaran:

a) Seluruh usia ≥ 40 tahun

b) Usia 15 - < 40 tahun dengan faktor risiko PTM (obesitas dan/atau obesitas sentral, dan/atau tekanan darah tinggi)

c) Semua penderita TBC

b) Frekuensi: 1 tahun sekali

c) Tempat pelaksanaan:


a) Skrining di Posyandu dilaksanakan oleh kader terlatih dan penegakan diagnosis dilakukan di FKTP.

b) Skrining di Pustu dan FKTP dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, mengacu pada Panduan Praktik Klinis (PPK), PNPK, atau ketentuan lain yang berlaku.

d) Metode: Skrining DM meliputi anamnesis riwayat penyakit keluarga dan diri sendiri; pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar perut, pemeriksaan tekanan darah; pemeriksaan kadar gula

Alat yang digunakan dalam Skrining DM untuk pemeriksaan kadar gula darah adalah Glukometer.

e) Interpretasi hasil skrining :


Tabel 23. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Kadar Gula darah dengan Glukometer

 

Kriteria

Gula darah sewaktu (mg/dl)

Gula darah Puasa (mg/dl)

Diabetes*

200

126

Prediabetes

140 -199

100 125

Normal

< 100

< 100


Interpretasi Hasil Pemeriksaan Kadar Gula Darah dengan Clinical Chemistry Analyzer

 

 

Kriteria

 

Glukosa

Gula darah Puasa (mg/ dl)

Gula darah sewaktu (mg/dl)

Gula darah Puasa (mg/ dl)

Diabetes

200

126

200

≥6,5

Prediabetes

140 -199

100 125

140 199

5,7 6,4

Normal

< 100

< 100

< 140

< 5,7

Sumber: PNPK Tatalaksana DM tipe 2 dewasa


f) Penilaian hasil skrining DM dan tindak lanjutnya:

a) Petugas di Posyandu atau Pustu melakukan:

(1) Edukasi gaya hidup sehat pada hasil skrining normal.

(2) Edukasi dan konseling untuk melakukan gaya hidup sehat (gizi seimbang, aktivitas fisik, layanan upaya berhenti merokok) dan pemantauan selama 3 bulan sekali bagi hasil skrining Prediabetes.

(3) Rujuk pasien ke Puskesmas/FKTP lainnya jika hasil skrining mengindikasikan Diabetes.

(4) Monitoring kadar gula darah secara berkala (minimal 1 bulan sekali) dan melanjutkan pemberian obat sesuai terapi dokter di Puskesmas pada pasien DM terkontrol. Jika ditemukan peningkatan kadar gula darah atau adanya tanda gula darah yang tidak terkontrol segera dirujuk ke Puskesmas.

b) Petugas di Puskesmas melakukan:

(1) Penegakan diagnosis DM oleh dokter mengacu pada Panduan Praktik Klinis (PPK), PNPK atau ketentuan lain yang berlaku dengan menggunakan fotometer/ Clinical Chemistry Analyzer dan atau HbA1C.

(2) Tata laksana DM sesuai PPK dan standar lain yang berlaku bagi pasien DM, termasuk edukasi dan konseling gaya hidup sehat.

(3) Edukasi pertahankan gaya hidup sehat bagi yang kadar gula darah normal.

(4) Edukasi dan konseling untuk melakukan gaya hidup sehat (gizi seimbang, aktivitas fisik, layanan upaya berhenti merokok) dan pemantauan selama 3 bulan sekali bagi yang kadar gula darah menunjukkan prediabetes.

(5) Pemeriksaan deteksi dini komplikasi DM minimal dilakukan 1 tahun sekali dengan melakukan pemeriksaan fungsi jantung dengan EKG, profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida), pemeriksaan fungsi ginjal dengan urinalisa/ proteinuria dan pemeriksaan fungsi penglihatan dengan funduskopi.


g) Kader pada saat kunjungan rumah melakukan sweeping sasaran yang belum dilakukan skrining DM, menemukan pasien DM yang tidak berobat teratur dan memberikan edukasi terkait pencegahan dan kepatuhan dalam pengobatan DM.


d. Skrining Faktor Risiko Stroke
a) Sasaran: penderita Hipertensi dan atau Diabetes Melitus yang berusia > 40 tahun
b) Frekuensi: 1 kali dalam setahun
c) Tempat Pelaksanaan : di Puskesmas
d) Metode skrining dengan pemeriksaan penunjang yaitu:

a) Melakukan anamnesa faktor risiko dan pemeriksaan fisik
b) Pemeriksaan profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL dan Trigliserid) dilakukan pada penderita hipertensi dan atau DM usia >40 tahun
c) Standar baku skrining faktor risiko stroke menggunakan alat fotometer, jika Puskesmas belum memiliki fotometer dapat menggunakan rapid tes profil lipid.
e) Penilaian hasil skrining FR stroke dan tindak lanjutnya:
a) Petugas di Puskesmas melakukan:
(1) Interpretasihasilpemeriksaanprofillipidberdasarkan Pedoman Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia tahun 2021 dari PERKENI, seperti tampak pada tabel berikut:

Kolesterol Total (mg/dl)

 

Diinginkan

< 200

        Sedikit tinggi (borderline)

200-239

        Tinggi

≥240

Kolesterol LDL (mg/dl)

 

        Optimal

< 100

        Mendekati optimal

100-129

        Sedikit tinggi (borderline)

130-159

        Tinggi

160-189

        Sangat Tinggi

≥190

Kolesterol HDL (mg/dl)

 

        Rendah

< 40

        Tinggi

≥60

Trigliserid (mg/dl)

 

        Normal

< 150

        Sedikit Tinggi

150-199

        Tinggi

200-499

        Sangat Tinggi

>500


(2) Selanjutnya lakukan penilaian prediksi risiko stroke menggunakan “Tabel Prediksi Risiko PTM”. Penilaian prediksi stroke dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, kemudian tindak lanjut dilakukan oleh dokter. Tabel ini memprediksi risiko seseorang menderita penyakit jantung dan pembuluh darah fatal atau non fatal, termasuk stroke untuk 10 tahun mendatang, berdasarkan jenis kelamin, umur, tekanan darah sistolik, kolesterol total, status merokok dan ada/tidaknya diabetes melitus.



(3) Cara menggunakan Tabel Prediksi Risiko PTM berdasarkan hasil laboratorium:
(a) Tentukan dahulu apakah orang yang diperiksa penyandang Diabetes Melitus atau tidak. Gunakan kolom yang sesuai dengan statusnya.
(b) Kemudian tentukan kolom jenis kelaminnya (laki- laki di kolom kiri dan perempuan di kolom kanan).
(c) Tentukan status merokok apakah merokok atau tidak, sesuaikan di kolomnya masing-masing
(d) Selanjutnya tetapkan blok usia. Lihat lajur angka paling kiri (misalnya untuk usia 46 tahun pakai blok usia 45-49 tahun, 68 tahun pakai blok 65-69 tahun, dst).
(e) Lihat nilai tekanan darah (TD) sistolik pada lajur paling kanan.
(f) Lihat kolom konversi kadar kolesterol total pada lajur bawah (pada tabel digunakan satuan mmol/l, sedangkan di Indonesia umumnya menggunakan satuan mg/dl, angka konversi tercantum).
(g) Tarik garis dari blok umur ke arah dalam, kemudian tarik garis dari titik tekanan darah ke arah dalam dan nilai kolesterol ke atas, angka dan warna kotak yang tercantum pada titik temu antara kolom umur, TD sistolik dan kolom kolesterol merupakan besarnya risiko untuk mengalami penyakit jantung dan pembuluh darah dalam kurun waktu 10 tahun mendatang.
(h) Penilaian berdasarkan tingkat risiko ini dilanjutkan dengan tata laksana. Tatalaksana dislipidemia dan faktor risiko lainnya pada pasien mengacu pada pedoman yang berlaku, seperti PPK1, PNPK dan lain-lain, termasuk pemberian edukasi dan konseling gaya hidup sehat

(4) Tindak lanjut yang dapat dilakukan pada pasien berdasarkan tingkat risiko:
(a) Risiko < 5%:
perlu konseling diet, aktivitas fisik, berhenti merokok dan kembali 1 tahun kemudian untuk penilaian ulang
(b) Risiko 5-10%:
perlu konsultasi diet, aktivitas fisik, berhenti
merokok
pertimbangkan penggunaan obat hipertensi dan DM sesuai dengan PPK
Lakukan penilaian risiko PTM setiap 3 bulan sampai mencapai kondisi yang diharapkan, dilanjutkan tiap 6-9 bulan kemudian.
(c) Risiko 10-20%:
perlu konsultasi diet, aktivitas fisik, berhenti
merokok
pertimbangkan penggunaan obat hipertensi apabila tekanan darah menetap ≥140/90 mmHg dan DM sesuai dengan PPK
Lakukan penilaian risiko PTM setiap 3-6 bulan sekali.
(d) Risiko >20%:
perlu konsultasi diet, aktivitas fisik, berhenti
merokok
penggunaan obat hipertensi apabila tekanan
darah menetap ≥130/80 mmHg dan DM
pertimbangkan pemberian statin
Lakukan penilaian risiko PTM setiap 3 bulan, bila tidak ada perubahan penilaian risiko PTM dalam 6 bulan, rujuk ke FKRTL.

(5) Hal-hal yang perlu diperhatian dalam melakukan tatalaksana pada pasien adalah:
(a) Semua pasien dengan tekanan darah >160/100 mmHg harus diberikan obat anti hipertensi
(b) Semua pasien dengan diagnosis diabetes dan penyakit kardiovaskuler (penyakit jantung coroner, infark miokard, serangan iskemik transien/ TIA, penyakit serebrovaskuler atau penyakit vaskuler perifer), bila stabil hendaknya terus minum obat yang sudah diresepkan dan dianggap mempunyai risiko >30%.
(c) Semua pasien dengan kadar kolesterol total > 320 mg/dl harus diberikan nasihat pola hidup sehat dan terapi statin

e. Skrining Faktor Risiko Penyakit Jantung
1) Sasaran: penderita hipertensi dan atau Diabetes Melitus yang berusia > 40 tahun
2) Frekuensi: 1 tahun sekali
3) Tempat pelaksanaan: Puskesmas
4) Metode dengan pemeriksaan penunjang:
a) Melakukan anamnesa faktor risiko, pemeriksaan tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik.
b) Pemeriksaan EKG
5) Penilaian hasil skrining berdasarkan hasil anamnesa faktor risiko, pemeriksaan tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik, dan interpretasi EKG.
6) Tatalaksana Penyakit Jantung oleh dokter mengacu pada PPK di FKTP dan standar lain yang berlaku bagi pasien Penyakit Jantung, termasuk edukasi dan konseling gaya hidup sehat
 
f. Skrining Kanker Payudara, Kanker leher rahim, kanker Paru, kanker kolorektal
1) Kanker payudara dan leher rahim:
1) Sasaran:
(1) Skrining kanker payudara pada perempuan usia >15 tahun
(2) skrining kanker leher rahim pada perempuan usia >30 tahun dengan riwayat sudah pernah kontak seksual.
2) Pemeriksaan payudara
(1) Skrining dilakukan di Pustu atau Puskesmas dengan metoda SADANIS (Pemeriksaan Payudara Klinis) oleh dokter dan atau bidan yang memiliki kompetensi.
(2) Pasien juga diajarkan untuk melakukan SADARI (Pemeriksaan Payudara Sendiri) di rumah setiap bulannya pada hari ke 7-10 dihitung dari hari pertama haid.
(3) SADANIS dilakukan setiap 3 tahun sekali atau lebih cepat apabila ditemukan kelainan dan atau keluhan pada SADARI.
(4) Pemeriksaan deteksi dini kanker payudara dapat dilakukan dengan menggunakan USG bila sarana dan prasarana serta SDM sesuai kompetensi tersedia.
(5) Jika ditemukan kelainan seperti benjolan, abnormal pada kulit payudara, kelainan pada puting dan keluhan/ kelainan yang tidak biasa, maka dirujuk ke FKRTL.
(6) Kader dapat melakukan kunjungan rumah untuk memberikan edukasi.
3) Pemeriksaan leher Rahim
(1) Deteksi dini dapat dilakukan di Pustu dan Puskesmas.
(2) Deteksi dini kanker leher rahim melalui skrining dilaksanakan dengan pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam asetat (IVA)
(3) IVA dilakukan 3 tahun sekali namun bila dibutuhkan dapat dilakukan setiap tahun pada populasi berisiko tinggi (pasangan seksual lebih dari satu, riwayat sudah pernah berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun, riwayat pernikahan lebih dari sekali, infeksi menular seksual berulang, penderita HIV AIDS/ immunocompromised atau mendapatkan terapi imunosupresan jangka panjang, dan malnutrisi).
(4) Tindaklanjut hasil IVA positif dilaksanakan di Puskesmas oleh dokter dan atau bidan yang memiliki kompetensi baik melalui pendidikan maupun pelatihan.
(5) Skrining dapat dilakukan dengan metode lain seperti pemeriksaan dengan menggunakan DNA HPV test yang dilakukan di Puskesmas.
(6) Kader dapat melakukan kunjungan rumah untuk memberikan edukasi.

2) Kanker paru dan kolorektal:
1) Kanker Paru:
(1) Sasaran skrining kanker paru terbatas pada kelompok pasien risiko tinggi.
(2) Skrining dapat dilakukan di Pustu dan Puskesmas melalui anamnesis faktor risiko kanker paru.
(3) Kelompok pasien dengan risiko tinggi dilakukan anamnesa mencakup:

(a) Pasien usia > 40 tahun dengan riwayat merokok ≥ 30 tahun dan berhenti merokok dalam kurun waktu 15 tahun sebelum pemeriksaan, atau
(b) Pasien ≥ 50 tahun dengan riwayat merokok ≥ 20 tahun dan adanya minimal satu faktor risiko lainnya (selain usia atau lama merokok, faktor risiko lainnya adalah pajanan radiasi, paparan okupasi bahan kimia karsinogenik, riwayat kanker paru pada pasien atau keluarga dan penyakit paru seperti PPOK atau fibrosis paru)
(c) Riwayat kanker paru pada keluarga
(4) Interpretasi Hasil dan Intervensi Lanjut: Jika ditemukan salah satu dari 3 kriteria di atas maka pasien dirujuk ke FKRTL
(5) Kader dapat melakukan kunjungan rumah untuk memberikan edukasi.
2) Kanker kolorektal
(1) Sasaran skrining kanker kolorektal adalah individu dengan risiko sedang dan risiko tinggi.
(a) Individu dengan risiko sedang adalah:
Berusia 50 tahun atau lebih;
Tidak mempunyai riwayat kanker kolorektal atauinflammatory bowel disease;
Tanpa riwayat keluarga kanker kolorektal; dan
Terdiagnosis adenoma atau kanker kolorektal setelah berusia 60 tahun.
(b) Individu dengan risiko meningkat atau risiko tinggi adalah:
Riwayat polip adenomatosa;
Riwayat reseksi kuratif kanker kolorektal;
Riwayat keluarga tingkat pertama kanker kolorektal atau adenoma kolorektal (rekomendasi berbeda berdasarkan umur keluarga saat di diagnosis);
(2) Metode pemeriksaan:
(a) Anamnesa pada pasien risiko sedang adalah:
riwayat BAB berdarah, jika ditemukan riwayat tersebut maka pasien dirujuk ke FKRTL
Riwayat inflammatory bowel disease yang lama;dan
Diagnosis atau kecurigaan sindrom Hereditary Non-polyposis Colorectal Cancer (HNPCC) atau Lynchatau Familial Adenomatous Polyposis (FAP).
(b) Pemeriksaan yang dilakukan di Puskesmas berupa colok dubur dan pemeriksaan laboratorium yaitu darah samar faeces.
(3) Interpretasi Hasil:
(a) Hasil pemeriksaan colok dubur adalah positif bila ditemukan adanya benjolan/hambatan pada perabaan. Bila hasil pemeriksaan colok dubur negatif/tidak ditemukan kelainan tetap harus dilakukan pemeriksaan darah samar faeces.
(b) Pemeriksaan darah samar faeces positif jika hasil laboratorium mendeteksi adanya darah samar(tersembunyi) di dalam faeces. Pemeriksaan ini penting untuk mendeteksi tanda adanya polip prakanker atau kanker Kolorectal.
(4) Intervensi Lanjut: Bila hasil colok dubur dan/atau darah samar faeces positif maka dilakukan rujukan ke FKRTL.
 (5) Tenaga kesehatan/kader dapat melakukan kunjungan rumah untuk memberikan edukasi.

g. Skrining Kesehatan Jiwa
1) Sasaran: usia 15 tahun ke atas dan kelompok berisiko mengalami masalah kesehatan jiwa (daftar kelompok berisiko dapat dilihat di Pedoman Skrining Kesehatan Jiwa).
2) Frekuensi: minimal satu tahun sekali.
3) Tempat pelaksanaan: Puskesmas, Pustu, Posyandu. Khusus untuk instrument ASSIST dilaksanakan di Puskesmas.
4) Metode: Penapisan (skrining) kesehatan jiwa dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ), Self Reporting Questionnaire (SRQ-20) untuk penapisan kesehatan jiwa/mental usia di atas 18 tahun, dan ASSIST (Alcohol, Smoking, and Substance Involvement Screening Test) untuk penyalahgunaan NAPZA. Kuesioner SDQ, SRQ-20 dan ASSIST dapat berbentuk cetak (Formulir 6) atau elektronik.
5) Skrining SRQ-20 dapat diisi sendiri (self assessment) atau melalui wawancara oleh nakes/non-nakes terlatih.
6) Pelaksanaan skrining menggunakan SRQ-20 memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Pertanyaan berkaitan dengan apa yang dialami individu, bukan terkait apa yang seharusnya dialami.
b) Time frame/lini masa kondisi yang dialami adalah 30 hari terakhir, jadi tidak menyaring kondisi yang terjadi lebih dari satu bulan yang lalu.
c) Mendapatkan hasil > 6 TIDAK berarti individu mengalami gangguan jiwa, akan tetapi berarti individu berpotensi mengalami masalah kesehatan jiwa dan memerlukan penelusuran lebih lanjut oleh petugas kesehatan di pelayanan primer.
d) Skrining kesehatan jiwa ditunda pada kondisi berikut (kriteria eksklusi):
(1) Pasien membutuhkan pelayanan gawat darurat
(2) Pasien sedang menderita atau kesakitan
e) SRQ-20 dapat diisi mandiri oleh individu dan juga dapat dilakukan di luar Puskesmas oleh kader, guru, atau tenaga kesehatan.
f) Dapat dilaksanakan secara terpadu dengan skrining program lain, seperti: gizi, penyakit menular (TBC, HIV, Sifilis dan Hepatitis B dll), penyakit tidak menular (hipertensi, diabetes, talasemia, dll).
7) Pelaksanaan skrining menggunakan instrument ASSIST memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Skrining ASSIST dilaksanakan di Puskesmas oleh tenaga kesehatan yang telah mendapatkan orientasi atau pelatihan tentang deteksi dini ASSIST.
b) ASSIST dapat dilakukan sebagai bagian deteksi dini lanjutan dari skrining pada individu yang terindikasi mengalami masalah kesehatan jiwa atau individu yang keluhannya menandakan ada hubungan dengan penyalahgunaan NAPZA.
c) Skrining ASSIST dapat terintegrasi pada program lain, seperti: program HIV dan IMS, TBC, program penyakit tidak menular (PTM),dll.
8) Kader dapat melakukan kunjungan rumah untuk mencari indikasi masalah kesehatan jiwa, pengecekan (sweeping) skrining kesehatan jiwa, dan memberikan KIE pada ODGJ dan keluarganya. Apabila ditemukan masyarakat usia dewasa yang belum mendapatkan skrining kesehatan jiwa, diarahkan untuk mengikuti skrining kesehatan jiwa di Pustu atau Puskesmas.
9) Bila ditemukan ODGJ yang tidak bersedia datang ke Puskesmas untuk melakukan monitoring rutin, maka petugas Kesehatan di Puskesmas/Pustu harus melakukan kunjungan rumah.
10) Hasil Skrining dan Tindak Lanjut:
a) SRQ-20
Tabel 26. Interpretasi Hasil Kuesioner SRQ-20 dan Intervensi

Skor

Interpretasi

Intervensi

<6

Normal

Edukasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan jiwanya dengan cara KAP (Komunikasi Antar Pribadi).

Materi edukasi kesehatan jiwa yang diberikan merujuk pada Juknis GME dan Depresi atau Pedoman Skrining

Kesehatan Jiwa.

≥6

Abnormal (Berpotensi mengalami masalah kesehatan jiwa)

KAP kesehatan jiwa, prevensi gangguan jiwa, dan/atau dirujuk ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan dalam bentuk wawancara psikiatrik oleh dokter dan/atau psikolog klinis untuk menentukan adanya gangguan jiwa, dan/atau rujuk ke RS/RSJ jika diperlukan

<6 namun pertanyaan nomor 17 diisi “Ya”

 


. Interpretasi Hasil Kuesioner ASSIST dan intervensi

 

Skor

Interpretasi

Intervensi

Intervensi

Risiko rendah

0-10

0-3

Pemberian KIE pencegahan NAPZA

Risiko sedang

11-26

4-26

Pemberian KIE, asesmen lanjutan dan konseling*

Pemberian KIE, konseling dan merujuk ke IPWL*** untuk pemeriksaan lanjutan**

Risiko tinggi

≥27

≥27

Rujuk ke IPWL untuk pemeriksaan lanjutan dan rehabilitasi medis

* Untuk FKTP yang telah ditetapkan menjadi IPWL

** Untuk FKTP non-IPWL

*** IPWL: Institusi Penerima Wajib Lapor (Puskesmas/ rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah)


h. Skrining Talasemia

Penjelasan skrining Talasemia pada usia dewasa dan lansia mengacu pada penjelasan di Bab IV Klaster Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak.


i. Skrining Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

1) Sasaran : Skrining PPOK dilakukan untuk mendeteksi penyakit

paru obstruktif kronik pada kelompok usia ≥ 40 tahun,

2) Frekuensi : dilakukan minimal 1 kali dalam 1 tahun,

3) Tempat pelaksanaan : i Puskesmas, Pustu, Posyandu, dan kunjungan rumah dengan memanfaatkan Aplikasi Sehat Indonesiaku (ASIK)

4) Skrining PPOK menggunakan kuesioner Prevalence StUdy and Reguler Practice, Diagnosis and TreatMent, Among General Practiocioners in Populations at Risk of COPD in Latin America (PUMA) dengan isian 7 pertanyaan (formulir 4). Jika:

a) Skor < 6: Risiko rendah maka dilakukan edukasi dan dianjurkan untuk konseling upaya berhenti merokok di layanan primer.

b) Skor 🡒 6: Risiko tinggi PPOK, dilakukan edukasi dan anjuran untuk konseling upaya berhenti merokok, lalu rujuk ke FKRTL untuk pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut. Pada Puskesmas yang memiliki spirometri lakukan pemeriksaan spirometri, bila hasil spirometri setelah uji bronkodilator:

(1) FEV1/FCV menunjukkan hasil lebih dari 0,7 atau 70% maka dirujuk ke FRTL untuk penatalaksanaan lebih lanjut,

(2) FEV1/FCV menunjukkan kurang dari 0,7 atau 70% maka dilakukan edukasi perubahan gaya hidup (tidak merokok, tidak menggunakan energi biomass, serta menggunakana lat pelindung diri untuk menghindari polusi udara terutama di lingkungan berisiko polusi udara.

5) Tatalaksana PPOK dilakukan sesuai Panduan Praktek Klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.

6) Edukasi tentang bahaya akibat merokok dan paparannya, polusi udara di dalam dan luar ruang, serta prilaku CERDIK dilakukan oleh tenaga kesehatan dan kader di tatanan keluarga, tatanan kerja, masyarakat, dan fasilitas pelayanan kesehatan.


j. Skrining TBC

1) Sasaran skrining: seluruh usia dewasa dan lansia yang berkunjung ke Puskesmas, Pustu, Posyandu atau yang ditemui pada kegiatan kunjungan rumah baik sehat maupun sakit Sasaran diutamakan:

a) Kontak dengan pasien TBC

b) Orang dengan HIV/AIDS (ODHIV)

c) Penyandang DM

d) Ibu hamil

e) Urban Poor

f) Perokok

g) Gizi buruk/Malnutrisi

h) Stunting

i) Kelompok risiko lainnya dengan HIV negatif atau tidak diketahui serta pasien immunokompremais lainnya (Pasien yang menjalani pengobatan kanker, pasien yang mendapatkan perawatan dialisis, pasien yang mendapat kortikosteroid jangka panjang, pasien yang sedang persiapan transplantasi organ, dll).

2) Frekuensi : sebaiknya 1x dalam sebulan

3) Metode skrining: wawancara menggunakan tanda dan gejala serta edukasi hasil skrining. Dilakukan oleh petugas kesehatan di Puskesmas, Pustu, serta dibantu oleh kader di Posyandu dan pada kegiatan kunjungan rumah. Jika sarana memadai, metode skrining TBC dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan rontgen dada.

4) Interpretasi hasil skrining: terduga TBC, Bukan terduga TBC, dan Kontak Erat (Penjelasan interpretasi hasil skrining TB mengacu pada penjelasan di Bab IV Klaster Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak)

5) Tindak lanjut setelah skrining TBC:

a) apabila dapat mengeluarkan dahak, diperiksa Tes Cepat Molekuler (TCM) di Puskesmas. Pengambilan spesimen dahak/sputum 2 kali (Sewaktu-Pagi atau Sewaktu-sewaktu dengan jarak minimal 1 jam) di Pustu, kemudian dikemas dan dikirim ke Puskesmas.

b) Jika mengalami kendala mengakses layanan TCM berupa kesulitan transportasi, jarak dan kendala geografis maka penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis BTA sputum.

c) Jika terdiagnosis TBC dengan pemeriksaan mikroskopis, dilakukan pemeriksaan lanjutan menggunakan TCM untuk mengetahui apakah merupakan TBC sensitif atau resisten. Dinas kesehatan mengatur jejaring rujukan spesimen ke fasyankes TCM terdekat.

d) Hasil pemeriksaan TCM atau BTA akan menentukan apakah akan diberikan Obat Anti Tuberculosis (OAT) atau Terapi Pencegahan Tuberculosis (TPT), perlu Pendampingan minum obat oleh keluarga terdekat atau kader sehingga dapat dipastikan pengobatannya rutin dan lengkap.

e) Untuk TBC SO datang ke Puskesmas sebulan sekali untuk mengambil obat, untuk TB RO harus datang setiap hari ke Puskesmas.

f) Bagi pasien TBC SO yang datang ke Puskesmas dilakukan pemeriksaan sputum ulangan dengan BTA pada bulan ke 2, 5, 6 sebaik follow up pengobatan TBC. Untuk pasien TBC RO dilakukan pemeriksaan sputum ulangan tiap bulan dengan pemeriksaan BTA dan kultur.

6) Kader dapat melakukan kunjungan rumah untuk melakukan pemantauan kepatuhan minum obat dan edukasi terkait TBC.

7) Berikut alur layanan TBC pada Usia Dewasa dan Lansia


k. Skrining Malaria

1) Sasaran: usia dewasa dan lansia yang datang dengan gejala, tinggal di daerah malaria dan mempunyai riwayat sakit sebelumnya atau berkunjung ke daerah endemis malaria atau ada anggota yang tinggal serumah ataupun kelompok ada yang sakit malaria

2) Tempat pelaksanaan : di Puskesmas, Pustu atau Posyandu

3) Metode skrining berdasarkan wawancara ada tidaknya gejala, tinggal di daerah endemis malaria atau riwayat kunjungan ke daerah endemis malaria . Pemeriksaan skrining malaria menggunakan RDT atau mikroskop

4) Interpretasi hasil skrining

a) Hasil pemeriksaan positif malaria maka tatalaksana malaria sesuai standar

b) Hasil pemeriksaan negatif malaria maka diberikan edukasi pencegahan terhadap malaria

5) Tindak lanjut setelah skrining Malaria

a) Hasil pemeriksaan positif malaria maka rujuk ke Puskesmas

/ FKTP untuk pengobatan

b) Hasil pemeriksaan negatif malaria maka diberikan edukasi pencegahan terhadap malaria

6) Kader melakukan kunjungan rumah untuk melakukan skrining dan melakukan pemantauan kepatuhan minum obat dan edukasi terkait malaria


l. Skrining Indera Penglihatan /Mata

Skrining indera penglihatan/mata pada usia dewasa dan lansia bertujuan untuk mengetahui visus atau ketajaman penglihatan dan deteksi dini katarak. Kekeruhan lensa mata dapat menurunkan tajam penglihatan sehingga perlu dilakukan skrining katarak. Pemeriksaan yang dilakukan pada skrining mata meliputi pemeriksaan tajam penglihatan sederhana, pemeriksaan kelainan refraksi (visus), dan pemeriksaan katarak.

1) Pemeriksaan Tajam Penglihatan Sederhana

a) Sasaran: usia ≥15 tahun

b) Frekuensi: 1 tahun sekali

c) Tempat pelaksanaan: Posyandu dan Pustu

d) Metode pemeriksaan: Pemeriksaan tajam penglihatan secara sederhana dapat dilakukan oleh kader menggunakan tes hitung jari dari jarak 6 meter atau menggunakan Tumbling-E jika tersedia (kit oftalmologi komunitas). Pemeriksaan tajam penglihatan dengan Tumbling-E menggunakan optotypes ukuran 6 (VA 6/6), 12 (VA 6/12), 18 (VA 6/18) dan 60 (VA 6/60) di

6 meter.

e) Interpretasi hasil pemeriksaan:

Metode hitung jari: tidak ada gangguan penglihatan jika menjawab benar dalam hitung jari sebanyak 3 kali berturut-turut. Jika terdapat minimal 2 jawaban salah dari 5 pertanyaan, maka dicurigai mempunyai gangguan penglihatan.

Tumbling-E:

a) Gangguan penglihatan ringan: visus <6/12 – 6/18

b) Gangguan penglihatan sedang: visus <6/18 – 6/60

c) Gangguan penglihatan berat: visus <6/60 – 3/60

d) Buta: visus <3/60

e) Normal: visus 6/6

f) Intervensi lanjut: Apabila ditemukan visus tidak lebih baik dari 6/12 dirujuk ke Puskesmas.

g) Kader selain melakukan pemeriksaan tajam penglihatan sederhana juga dapat memberikan edukasi terkait perilaku menjaga kesehatan mata.

2) Pemeriksaan Kelainan Refraksi

a) Sasaran: usia ≥15 tahun

b) Frekuensi: 1 tahun sekali

c) Tempat pelaksanaan: Puskesmas

d) Metode pemeriksaan:

(1) Pemeriksaan kelainan refraksi oleh Dokter dilakukan mulai dari anamnesis, pemeriksaan mata dasar, pemeriksaan visus, dan pemeriksaan koreksi subjektif sederhana.

(2) Anamnesis pada pasien sebelum pemeriksaan visus dan koreksi refraksi dilakukan untuk membedakan apakah pandangan kabur yang dialami pasien merupakan kelainan refraksi yang dapat dikoreksi dengan kacamata atau akibat adanya gangguan pada organ mata.

(3) Sedangkan pemeriksaan mata dasar sebelum koreksi refraksi bertujuan untuk menghindari kerancuan penyebab mata kabur yang tidak bisa dilakukan koreksi refraksi.

(4) Pemeriksaan visus menggunakan Snellen chart atau Tumbling E chart dilakukan pada jarak 6 meter dengan penerangan yang baik.

(5) Alat pemeriksaan yang diperlukan meliputi optotype Snellen Chart atau Tumbling E, Trial Frame dan okluder, Trial Lens, senter atau penlight, kipas astigmat dial, pinhole, penggaris untuk mengukur Pupil Distance (PD).

(6) Langkah-langkah pemeriksaan dapat mengacu pada Modul Pelatihan Refraksi Bagi Dokter Umum di FKTP.


e) Interpretasi hasil pemeriksaan:

Cara menuliskan hasil pemeriksaan refraksi subyektif:

a) Tuliskan tajam penglihatan tanpa koreksi

b) Tuliskan koreksi lensa sferis dan lensa silindris beserta aksis yang diperlukan

c) Tuliskan tajam penglihatan terbaik dengan koreksi

d) Cantumkan keterangan “PH tetap” apabila tajam penglihatan terbaik tidak mencapai 6/6 dan tidak maju dengan pemberian pinhole.

e) Cantumkan keterangan “DE(-)”, artinya sudah dilakukan pemeriksaan Duke Elder’s Test dan hasilnya negatif.

f) Untuk keadaan presbiopia tuliskan addisi yang diperlukan dan cantumkan hasil tes penglihatan dekatnya.

f) Intervensi Lanjut:

Rujukan dilakukan apabila ditemukan visus 6/9 pada salah satu atau kedua mata atau minimal –sferis 0,5 D atau –silindris minimal 0,25 D.

3) Pemeriksaan Katarak

a) Pemeriksaan katarak bertujuan untuk mendeteksi adanya penyakit katarak pada mata dimana terjadi kekeruhan pada lensa mata yang menyebabkan penurunan tajam penglihatan, ditandai terlihatnya warna putih pada manik mata sehingga penglihatan menjadi berkabut.

b) Sasaran: orang berusia ≥40 tahun

c) Frekuensi: 1 tahun sekali

d) Tempat pelaksanaan: Puskesmas

 e) Metode pemeriksaan:

a) Apabila pada pemeriksaan tajam penglihatan ditemukan visus <6/18 dan dengan tes pinhole tajam penglihatan tidak menjadi lebih baik, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan katarak.

b) Pada pemeriksaan segmen anterior dengan lup- senter terlihat warna kelabu atau putih di daerah pupil, menunjukkan adanya kekeruhan/katarak.

c) Selanjutnya dilanjutkan pemeriksaan shadow test untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa. Pada shadow test bisa terdapat shadow positif, negatif, ataupun pseudo positif tergantung dari derajat kekeruhan lensa.

d) Pemeriksaan red refleks dengan oftalmoskop dilakukan untuk melihat refleks fundus (warna merah).

f) Interpretasi hasil:

a) Pada pemeriksaan shadow test, apabila seluruh pupil tetap putih, dan tidak ada bayangan iris di lensa yang keruh, maka tes shadow negati (-). Hal ini terdapat pada katarak stadium matur.

b) Apabila sebagian pupil menjadi hitam, yang merupakan bayangan iris di kekeruhan lensa, maka disebut tes bayangan (+) yang terdapat pada katarak immatur.

c) Apabila terdapat bayangan iris pada kekeruhan lensa, namun terdapat jarak antara iris dan permukaan kapsul anterior lensa dan lensa telah menjadi keruh seluruhnya, maka tes shadow pseudopositif. Hal ini terdapat pada katarak stadium hipermatur.

d) Pada pemeriksaan red refleks, refleks fundus (warna merah) masih tampak pada katarak immatur. Sedangkan pada katarak matur, refleks fundus tidak terlihat lagi.

 g) Tatalaksana kasus:

a) Kriteria rujukan:

a) Jika dari hasil pemeriksaan shadow test dan pemeriksaan refleks fundus ditemukan katarak matur

b) Jika pasien telah mengalami gangguan penglihatan yang signifikan

c) Jika timbul komplikasi

b) Perlu dilakukan edukasi dan konseling terkait perawatan katarak, serta dapat melakukan perawatan pasca operasi katarak (rujuk balik).


m. Skrining Kebugaran

1) Sasaran skrining kebugaran adalah semua usia dewasa (pekerja dan non pekerja) serta lanjut usia.

2) Skrining kebugaran jasmani bagi usia dewasa:

a) Skrining kebugaran dilakukan di Puskesmas, melalui pengukuran kebugaran minimal setiap 6 bulan sekali.

b) Metode yang digunakan adalah Metode Rockport. Metode ini sederhana dengan sarana yang minimal, sehingga dapat dilakukan oleh Puskesmas maupun bekerja sama dengan tempat kerja di wilayah kerjanya. Metode Rockport:

a) Merupakan tes pengukuran jasmani yang mudah, murah dan dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat tanpa risiko yang besar terhadap cidera dan memiliki risiko minimal bagi yang memiliki fator risiko terhadap penyakit.

b) Tes ini dilakukan dengan berjalan atau berlari di lintasan datar sepanjang 1,6 km (seperti halaman sekolah, kantor, fasilitas umum perumahan dan tidak harus lintasan atletik dalam stadion gelanggang olahraga).

 c) Tes kebugaran jasmani dapat dilakukan menggunakan aplikasi SIPGAR (Sistem Informasi Pemeriksaan Kebugaran Jasmani Mandiri) yang berbasis android atau dilakukan secara manual pada daerah dengan jaringan telekomunikasi terbatas.

d) Pada pemeriksaan kebugaran jasmani dengan aplikasi SIPGAR peserta diminta mengisi data pribadi, data kesehatan dan kuisioner PAR-Q (Physical Activity Readiness Questionaire) untuk menilai kelayakan peserta sebelum melakukan pemeriksaan kebugaran. Peserta yang dinyatakan tidak layak perlu memastikan kondisi kesehatan kepada tenaga kesehatan, sementara yang dinyatakan layak dapat melanjutkan pengukuran kebugaran jasmani secara mandiri.

e) Kategori tingkat kebugaran dinilai dengan melihat waktu tempuh, usia dan jenis kelamin berdasarkan tabel penilaian rockport (tabel B.1) dilanjutkan dengan program latihan fisik sesuai dengan tingkat kebugaran jasmani yang disarankan.

c) Rekomendari aktivitas fisik berdasarkan tingkat kebugaran mengacu pada Tabel 2.

3) Skrining kebugaran jasmani bagi lansia

a) Skrining kebugaran dilaksanakan di Puskesmas oleh petugas kesehatan minimal setiap 6 bulan sekali.

b) Metode yang digunakan adalah metode tes jalan 6 menit yang terdapat pada aplikasi SIPGAR maupun dilakukan manual pada daerah dengan jaringan telekomunikasi terbatas. Skrining ini cukup sederhana dengan sarana yang minimal. Tes jalan 6 menit dinilai sebagai pemeriksaan paling aman bagi lansia dan tidak berisiko ditengah-tengah pelaksanaan

 


tes. Tesi ini dinilai dari jarak yang dapat ditempuh dalam waktu 6 menit. Penilaian tes jalan 6 menit kelompok lansia dapat dilihat di tabel 3.

c) Skrining kebugaran jasmani dilanjutkan dengan program latihan fisik sesuai dengan tingkat kebugaran jasmani yang direkomendasikan. Rekomendasi latihan fisik untuk lansia:

a) Aktivitas fisik aerobik intensitas sedang 150 menit perminggu atau intensitas tinggi 75 menit perminggu atau kombinasi keduanya.

b) Aktivitas fisik untuk meningkatkan kekuatan otot

dilakukan setidaknya 2 kali seminggu.

c) Lansia dengan mobilitas yang buruk perlu melakukan aktivitas fisik untuk meningkatkan keseimbangan dan mencegah jatuh setidaknya 3 kali seminggu.

d) Apabila lansia tidak dapat melakukan aktivitas fisik sesuai rekomendasi, dianjurkan untuk tetap melakukan aktivitas fisik sesuai kondisi dan kemampuannya dengan bantuan dari tenaga ahli seperti dokter olahraga, ortopedi, fisioterapi atau pelatih kebugaran.

d) Kader dapat melakukan kunjungan rumah untuk memberikan edukasi keluarga tentang pentingnya skrining kebugaran dan menjaga kebugaran.


n. Skrining kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (KtP/A) Penjelasan skrining KtPA mengacu pada penjelasan di Bab IV Klaster Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak.

 

o. Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut

1) Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut dilaksanakan secara komprehensif dengan memperhatikan kekhususan kebutuhan penanganan pada usia dewasa dan lanjut usia termasuk pada penyandang disabilitas yang dilaksanakan oleh nakes di Puskesmas dan Pustu serta kader Posyandu.

2) Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut pada usia dewasa dilaksanakan secara terintegrasi dan komprehensif paripurna dengan pendekatan paradigma sehat.

3) Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut pada usia dewasa dapat menggunakan pendekatan teknologi informasi seperti telemedisin untuk meminimalkan hilangnya waktu produktif, dilaksanakan secara terintegrasi dan komprehensif.

4) Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut lanjut usia diutamakan pada pelayanan dengan pendekatan kuratif dan rehabilitatif dalam bentuk pengobatan dan pemulihan fungsi pengunyahan sesuai permasalahan kesehatan gigi dan mulut pada lanjut usia.

5) Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Lanjut Usia dilakukan secara komprehensif tanpa mengabaikan pendekatan promotive dan preventif dengan mempertimbangkan riwayat penyakit dan kondisi umum lanjut usia.

6) Kader kesehatan saat kunjungan rumah melakukan melalui pemberian edukasi kepada usia dewasa untuk mempertahankan fungsi penyunyahan, identifikasi kondisi pengunyahan dan edukasi kepada lanjut usia untuk mempertahankan dan/atau memulihkan fungsi penguyahan serta menganjurkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut lanjutan jika diperlukan.

7) Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut lanjutan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dalam rangka menindaklanjuti hasil identifikasi yang dilaksanakan oleh kader kesehatan.

 


p. Pelayanan pengobatan farmakologis dan non farmakologi

1) Secara Umum:

Pelayanan pengobatan pada usia dewasa dan lansia disesuaikan dengan kasus dan kewenangan serta dapat dintegrasikan dengan pelayanan yang ada di FKTP. Diusahakan pelayanan di FKTP diberikan selesai dalam satu waktu (one stop services) atau bila tidak memungkinkan ditetapkan janji temu pada pertemuan berikutnya.

2) Khusus penyakit kronis, monitoring bisa dilakukan di Pustu minimal 1x dalam sebulan, dan setiap 3 bulan sekali harus ke Puskesmas untuk monitoring hasil pengobatan dan deteksi dini komplikasi oleh dokter.

3) Tata laksana penyakit juga memperhatikan Pelayanan Kesehatan Lingkungan. Penjelasan terkait Pelayanan Kesehatan Lingkungan mengacu pada penjelasan pada bab IV Klaster Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak.

4) Usia Dewasa dan lanjut usia dengan penyakit berpotensi KLB (daftar dan definisi operasional penyakit tercantum pada tabel 31) dilakukan penanganan sesuai ketentuan dan dilaporkan ke klaster 4 untuk ditindaklanjuti.

5) Pelayanan kesehatan tradisional:

a) Pelayanan kesehatan tradisional dapat diintegrasikan dengan pelayanan kesehatan usia dewasa dan lansia dalam rangka mendukung upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diselenggarakan di dalam gedung dan luar gedung Fasyankes (pemberdayaan masyarakat) oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi tambahan di bidang kestrad dan tenaga kesehatan tradisional.

b) Pelayanan kesehatan tradisional pada usia dewasa dan lansia dilaksanakan dalam bentuk akupresur, akupunktur dan ramuan serta edukasi asuhan mandiri kestrad. Misal: akupunktur untuk membantu meningkatkan kesuburan/ reproduksi, akupresur untuk membantu mengurangi pegal/linu, ramuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh, membantu pengendalian penyakit tidak menular (menurunkan tekanan darah, kadar gula darah, asam urat, kolesterol), dll.

c) Kader kesehatan saat kunjungan rumah dapat melibatkan kader kestrad untuk melakukan edukasi ramuan dan akupresur kepada sasaran usia dewasa dan lansia terkait pemeliharaan kesehatan dengan memanfaatkan kesehatan tradisional.




No comments:

Post a Comment